Metode Penelitian–Kajian Teoritis

Dalam penelitian, biasanya teori dikaji dalam suatu sub-bab tersendiri. Teori merupakan kumpulan konsep/konstruk, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang suatu fenomena/gejala, dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel. dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena/gejala tersebut. Misalnya teori permintaan: menyatakan bahwa permintaan konsumen terhadap suatu barang di pengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain, pendapatan konsumen, selera dan faktor-faktor lainnya. Hubungan-hubungan yang dapat dijelaskan dalam kajian teoritis seperti jika harga barang naik (untuk barang normal) maka permintaan konsumen terhadap barang tersebut akan menurun. Begitupun penjelasan hubungan harga barang lain terhadap permintaan suatu barang, akan sampai pada penjelasan apakah barang lain tersebut bersifat substitusi atau sebaliknya bersifat komplementar.

Cara mengkaji teori agar mampu menjelaskan variabel-variael yang diteliti, paling tidak dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Apa. Apa definisi dari suatu variabel penelitian yang dikaji.
  • Mengapa. Mengapa variabel tersebut penting (arti penting, peranan penting, urgensi, kemanfaatan variabel).
  • Bagaimana. Bagaimana variabel tersebut terbentuk, dari konsep apa saja variabel tersebut berasal, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, bagaimana kriteria untuk mengukur variabel tersebut.

Seringkali terjadi, ketika seorang peneliti membuat sub-judul “faktor-faktor yang mempengaruhinvariabel terikat” akan tetapi didalam sub-judul tersebut tidak dijumpai ada faktor-faktor yang mewakili variabel bebasnya. Sebagai contoh, dalam penelitian yang berjudul : Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kayu olahan di Provinsi Jambi”. Di dalam sub-judul faktor-faktor tersebut adalah harga katu olahan, harga aluminium (barang substitusi), dan selera konsumen. Peneliti mungkin lupa bahwa bahwa faktor pendapatan konsumen juga mempengaruhi permintaan konsumen terhadap kayu olahan.

Di dalam  kajian teoritis, seyogyanya dilengkapi dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan. Peneliti dapat mengkolaborasi dan atau melengkapi dan juga membandingkan dengan hasil penelitian tersebut. Upaya mencantumkan hasil penelitan terdahulu yang relevan juga menunjukkan bahwa peneliti telah mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang penelitian yang akan direncakan oleh peneliti.

Beberapa hal yang perlu diwaspadai oleh peneliti dalam membahas sub-bab kajian teoritis adalah: peneliti tidak perlu memindahkan seluruh isi buku, sehingga halaman proposal menjadi tebal, padahal mungkin hal-hal yang dikutip tidak sepenuhnya bermanfaat untuk menjelaskan hakikat variabel yang diteliti; peneliti sebaiknya memberi penjelasan dan tanggapan yang memadai jika peneliti mencoba mengutip satu kalimat dari suatu referensi yang dipilih; peneliti juga seringkali mengutip satu referensi akan tetapi tidak membuat sumber referensinya (nama penulis, tahun, halaman, dan lainnya), dan seolah-olah kutipan tersebut merupakan kalimat peneliti sendiri, padahal mengutip dari kalimat orang lain.

Banyak sumber referensi yang dapat dijadikan rujukan teori oleh seorang peneliti:

  1. Referensi dari internet, namun hanya dari sumber-smber yang dapat dipercaya. Contoh yang paling sering digunakan oleh para peneliti adalah situs jurnal ilmiah online.
  2. Laporan penelitian akademis: misalnya skripsi, tesis, disertasi. Namun yang dikutip sebaiknya hanya kesimpulan dari penelitannya saja.
  3. Jurnal ilmiah, kumpulan-kumpulan tulisan ilmiah ebagai hasil dari kajian penelitian. Jurnal mampu menyajikan perkembangan konsep atau teori yang mutakhir (uptodate), yang mungkin belum ada atau bahkan mungkin belum dikaji dalam buku teks.
  4. Buku teks. Buku-buku yang mengkaji teori-toeri dari satu bidang ilmu tertentu, atau suatu konsep tertentu, atau suatu konsep tertentu secara rinci, luas, dan mendalam.
  5. Sumber-sumber lain. Dapat berupa abstrak penelitian, prosiding ilmiah, artikel seminar dan berbagai sumber ilmiah lainnya.

Contoh Tinjauan Pustaka, untuk dipelajari:

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemasaran Produk Pertanian

Mubyarto dan Dewantara (1991) mengemukakan bahwa pemasaran produk pertanian di negara Indonesia merupakan bagian yang paling lemah dalam mata rantai perekonomian. Oleh karena lemahnya pemasaran pertanian tersebut, maka ada kecenderungan bahwa pemasaran produk-produk pertanian relatif kurang efisien. Azzaino (1982) menyatakan bahwa untuk melihat apakah sistem pemasaran telah berjalan dengan efisien dapat digunakan pendekatan analisis margin pemasaran dan analisis bagian harga yang diterima petani produsen (farmer share).

Sistem pemasaran bokar dapat dikatakan berperilaku sama hampir di seluruh sentra produksi karet dan telah terbangun semenjak budidaya karet dikembangkan di Indonesia. Sunaryo (2002) menemukan bahwa terdapat tiga hingga empat tingkatan pedagang yang berpartisipasi dalam transaksi bokar di Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah yakni toke (pemilik kebun), pedagang pengumpul desa, pedagang besar kabupaten dan industri karet remah. Saluran pemasaran bokar yang panjang tersebut semakin tidak mampu memberikan sistem pemasaran yang efisien dengan hadirnya para agen komisi yang menjadi perantara dalam setiap mata rantai pemasaran yang ada (Marpaung, 1998; Nancy, 1988; Saleh, 1991; Sunaryo, 2002; Hendratno dan Gunawan, 1996).

Sistem pemasaran karet yang dihadapi petani bokar tidak terlepas dari produktivitas dan kualitas karet yang dihasilkan. Kecilnya produksi dan rendahnya kualitas bokar menyebabkan petani tidak mempunyai alternatif dalam memasarkan produk. Napitupulu (2004) menemukan bahwa sistem pemasaran karet yang didalamnya terdapat sejumlah lembaga pemasaran sebagai pedagang perantara termasuk agen komisi (kaw puik) di Provinsi Jambi menyebabkan farmer share hanya sekitar 38% dari harga f.o.b. Rendahnya farmer share tersebut menyebabkan petani menjadi kurang termotivasi untuk menghasilkan produksi karet dengan kualitas yang lebih baik.

Sejalan dengan temuan Sunaryo dan beberapa peneliti lainnya, berdasarkan hasil pra studi diperoleh bahwa setidaknya terdapat 5 (lima) pola tataniaga bokar yang dijumpai di Provinsi Jambi. Pada empat dari lima pola tersebut ditemukan bahwa petani menjual bokar kepada pedagang pengumpul desa/toke. Pedagang pengumpul desa pada gilirannya dapat menjual bokar kepada pedagang besar atau langsung kepada pasar lelang karet di tingkat kecamatan. Pedagang besar selanjutnya dapat menjual bokar tersebut baik melalui pasar lelang Payoselincah atau langsung kepada industri karet remah.

Pola lain yang dapat ditemui adalah pola ke lima dimana petani menjual langsung ke industri karet remah melalui koperasi (kasus pada salah satu industri karet remah). Berbeda dengan empat pola tataniaga yang lain, pola ke-lima tersebut dapat memberikan nilai tukar yang lebih besar kepada petani. Pedagang pengumpul desa pada umumnya menghargai bokar petani berkisar antara Rp 7000 – 7500 /Kg sesuai dengan kualitas bokar petani. Sementara bokar yang dijual melalui koperasi dapat dihargai oleh industri karet remah mitra dengan harga Rp.8000/Kg. Apabila dikurangi biaya transportasi dan basi yakni rata rata sebesar Rp 200/Kg, maka petani dapat memperoleh harga sebesar Rp 7800/Kg.

2.2. Kualitas Bokar

Bokar merupakan bahan baku bagi industri karet remah. Secara historis, industri ini semula berlokasi di Singapura dengan teknologi pengolahan yang mampu mengolah bahan baku karet berkualitas rendah. Hilangnya nilai tambah industri keluar negeri telah mendorong pemerintah melakukan larangan ekspor karet berkualitas rendah, sehingga industri karet di Indonesia mulai berkembang.

Teknologi yang dirancang untuk industri karet remah memang ditujukan untuk mengolah bokar berkualitas rendah. Dalam rangkaian mesin yang digunakan terdapat satu alat yang disebut hammer mill yang berfungsi untuk menghancurkan, mencincang dan memilah kotoran pada bokar. Dalam kondisi demikian, permintaan bokar untuk industri bukan berupa sit (baik angin atau asap) dan slab giling, tetapi slab tebal yang digumpalkan dengan asam semut. Sampai sejauh ini produk olahan utama dari industri karet remah di Indonesia berupa SIR-20 (Malian dan Djauhari, 1999).

Untuk menghadapi era perdagangan bebas pemerintah berupaya menghilangkan jenis SIR berkualitas rendah sesuai dengan pemintaan konsumen. Hal ini perlu ditempuh di tengah makin tingginya persaingan antar negara produsen karet alam, serta tingginya tuntutan konsumen akan kualitas produk yang konsisten dan bebas kontaminasi (Nancy, 1997).

Pada sebagian besar sentra produksi karet rakyat, bokar yang dihasilkan petani masih didominasi oleh jenis slab tebal dan ojol. Bokar dalam bentuk slab tebal merupakan hasil penggumpalan lateks yang dipanen dan dibekukan setiap hari. KKK jenis slab tabal umumnya berkisar antara 45-52 persen. Sedangkan bokar dalam bentuk ojol merupakan penggumpalan lump mangkok yaitu bekuan lateks yang dibiarkan 3-4 hari di setiap mangkok pada setiap batang. KKK pada jenis ojol dapat mencapai 50-55 persen (Malian dan Jauhari, 1999).

Umumnya petani karet rakyat di Provinsi Jambi menghasilkan bokar jenis slab tebal dengan kadar air berkisar antara 45-55 persen (Disbun Prov. Jambi, 2006). Jenis bokar ini merupakan hasil penggumpalan lateks yang dipanen dan dibekukan setelah dua atau tiga kali penyadapan. Dalam proses penggumpalan tersebut seringkali petani menambahkan bahan-bahan asing (kotoran) seperti tanah dan tatalan serta menggunakan kuagulan yang tidak sesuai dengan anjuran seperti urea, tawas dan cuka 61. Dalam kondisi tersebut maka kualitas bokar petani di Provinsi Jambi tidak saja ditentukan oleh KKK, tetapi juga ditentukan oleh kadar kotoran yang sering disebut dengan kadar basi.

Pada dasarnya jenis bokar yang akan dihasilkan petani dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu : (1) jenis bokar yang diminta oleh pasar, (2) harga dan insentif harga yang diberikan kepada bokar berkualitas lebih baik, (3) taksiran penerimaan bersih yang akan diterima, dan (4) biaya kesempatan (opportunity costs) yang harus dikorbankan dibandingkan dengan penerimaan yang akan diperoleh (Malian dan Djauhari, 1999). Untuk Provinsi Jambi, jenis bokar yang banyak diminta adalah slab tebal dengan kualitas bokar yang tergolong rendah.

Bertahannya pasar untuk bokar berkualitas rendah karena pasar tidak memiliki standarisasi harga yang dapat dijadikan patokan. Dalam proses penetapan harga, para petani selalu harus menerima tingkat harga yang ditetapkan, tanpa mempertimbangkan kualitas bokar yang dihasilkan. Persentase KKK yang selama ini dijadikan alasan penetapan harga bokar umumnya tidak dilakukan secara transparan. Kondisi demikian terus dipertahankan oleh pabrik karet remah dan pedagang bokar, untuk menjamin posisi mereka sebagai penentu harga dapat terus dipertahankan.

2.3. Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Karet

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani karet rakyat adalah meningkatkan kualitas bokar yang dihasilkannnya melalui perbaikan teknologi pengolahan bokar. Memperhatikan perkembangan teknologi pengolahan bokar dari tahun ke tahun terlihat bahwa upaya peningkatan kualitas bokar telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Sebelum tahun 1969, Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor sit asap dan beberapa produk karet lainnya yang banyak dihasilkan langsung oleh para petani dengan tingkat kualitas yang rendah.

Untuk memperbaiki kualitas sit angin yang dihasilkan, pada tahun 1970-an pemerintah juga pernah melaksanakan proyek Group Coagulating Centre (GCC) pada berbagai daerah sentra produksi karet rakyat, terutama di Sumatera Selatan, Jambi dan Kalimantan Barat. Proyek ini juga mengintroduksikan program pengolahan bersama dengan penggunaan alat gilingan tangan (hand mangel). Namun demikian, sejak dikembangkannya teknologi karet remah secara nasional, berangsur-angsur bahan olah di tingkat petani beralih dari jenis sit menjadi slab dan ojol. Pada tahun 1993, pemerintah melalui Proyek Pengembangan Unit Pengolahan Karet Rakyat (PUPKR) kembali mengintrodusikan unit pengolahan hasil (UPH) kepada petani. Teknologi yang di introduksikan pada dasarnya tidak berbeda dengan proyek perbaikan kualitas bokar yang pernah dilaksanakan sebelumnya (Malian dan Jauhari, 1999).

Upaya perbaikan kualitas bokar diatas, selain didasarkan atas pertimbangan daya saing produk di pasar internasional, juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani. Swardin (1995), dalam penelitiannya tentang kualitas bokar dan pendapatan petani, mengatakan bahwa terbatasnya teknologi menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas bokar yang dihasilkan oleh petani karet di Indonesia. Kualitas karet yang rendah pada gilirannya menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani produsen menjadi rendah. Konsep pemikiran ini menyebabkan Swardin menghipotesiskan bahwa introduksi teknologi pengolahan bokar kepada petani dapat meningkatkan pendapatan petani. Hasil penelitian Swardin menunjukkan bahwa petani yang menggunakan teknologi creper mini secara berkelompok ternyata dapat menikmati pendapatan 10 persen lebih besar dibandingkan petani yang mengolah bokar dengan cara tradisional. Penggunaan teknologi creper mini juga dapat miningkatkan pendapatan pedagang melalui penghematan biaya transportasi dari lokasi petani produsen ke industri karet remah, serta pendapatan industri karet remah masing-masing 45 hingga 50 persen dan 30 persen.

Hal senada juga dikemukakan oleh Marpaung (1998) dalam penelitiannya tentang upaya peningkatan pendapatan petani karet rakyat di Kalimantan Tengah. Hasil temuan Marpaung menunjukkan bahwa upaya perbaikan kualitas bokar dapat meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan harga sekitar 6,47 persen, dan efisiensi biaya pemasaran/pengolahan sebesar 34,50 persen. Selain peningkatan pendapatan yang dapat dinikmati oleh petani produsen, pedagang juga dapat memperoleh peningkatan pendapatan sebesar 28,03 persen melalui efisiensi biaya transportasi.

Hasil temuan Sunaryo (2000) meski senada dengan dua temuan terdahulu ternyata menunjukkan bahwa pengenalan hand milling tidak cukup mampu untuk memacu motivasi petani produsen menghasilkan kualitas bokar yang lebih baik. Sunaryo menemukan bahwa perbaikan kualitas bokar lebih banyak dinikmati oleh industri karet remah. Lebih jauh hasil temuan Sunaryo menunjukkan bahwa tidak termotivasinya petani untuk menghasilkan kualitas baik disebabkan peningkatan harga yang diperoleh oleh petani akibat menghasilkan kualitas karet yang lebih baik ternyata tidak sepadan dengan penurunan bobot bokar yang dihasilkan. Pendapatan petani ternyata lebih besar jika mereka menghasilkan slab tebal dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan sit angin dengan kualitas dan harga yang lebih tinggi.

Hadi (1996) dalam Sunaryo (2000) juga telah terlebih dahulu menemukan perilaku respon petani dalam menghasilkan bokar kualitas baik. Hasil temuan Hadi menunjukkan bahwa pendapatan petani yang menghasilkan kualitas rendah ternyata lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani yang menghasilkan kualitas lebih tinggi. Jumlah bahan baku lateks yang dibutuhkan untuk menghasilkan sit angin ternyata hampir dua kali lebih besar dari kebutuhan lateks untuk sleb tebal.

Beberapa penelitian terdahulu ternyata menunjukkan bahwa upaya memotivasi petani produsen untuk menghasilkan kualitas bokar yang lebih tinggi telah dilakukan diantaranya melalui pengenalan teknologi pengolahan bokar. Namun rendahnya penghargaan yang diberikan pedagang pada bokar dengan kualitas yang lebih tinggi menyebabkan petani lebih termotivasi untuk melakukan produksi secara konvensional dengan hasil bokar kualitas rendah.

Meski belum terdapat penelitian terdahulu yang mengkaji faktor penyebab rendahnya penghargaan konsumen terhadap bokar yang dihasilkan petani, dapat diduga hal ini merupakan salah satu dampak dari kurangnya informasi yang memadai atas kualitas bokar yang dihasilkan oleh petani produsen. Hasil penelitian Sunaryo (2000) menunjukkan bahwa penentuan kualitas bokar di tingkat petani produsen masih dilakukan secara visual.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *