Metode Penelitian–Rumusan Masalah

Masalah penelitian umumnya bersumber dari pengalaman di lingkungan pekerjaan atau profesi masing-masing peneliti, deduksi dari suatu toeri, ataupun laporan penelitian. Secara sederhana, masalah diartikan sebagai adanya perbedaan antara kenyataan dengan sesuatu yang diharapkan. sebagai misal, diharapkan setelah mengikuti program SLPTT, produktivitas kedelai yang dihasilkan petani hanya 1,1 ton/ha, sementara harapan produktivitas setelah pelaksanaan program SLPTT adalah mencapai 2,3 ton/ha.

Sebelum merumuskan masalah penelitian, sebaiknya terlebih dahulu dilakukan identifikasi masalah. Identifikasi masalah berarti mengenali berbagai masalah yang relevan dengan topik penelitian. Sebenarnya proses identifikasi masalah telah tampak pada latar belakang penelitian, bedanya pada latar belakang mungkin peneliti melakukan analisis yang mendalam dengan alasan-alasan yang panjang sementara pada rumusan masalah peneliti hanya mengemukakan secara ringkas pokok-pokok masalah yang telah teridentifikasi.

Rumusan masalah merupakan penegasan tentang hal-hal spesifik yang akan dikaji oleh peneliti. Rumusan masalah paling mudah dikemukakan dalam bentuk pertanyaan (research question) yakni mempertanyakan hal-hal yang telah dibatasi sesuai ruang batasan masalah yang dipikirkan oleh peneliti. Rumusan masalah seyogyanya dapat mengantarkan pembaca untuk memahami hubungan ataupun saling keterkaitan variabel-variabel yang dipilih (dibatasi) dengan variabel utama penelitian.

Rumusan masalah dapat dikemas dalam bentuk pertanyaan penelitian, dengan kata bantu misalnya: apakah, apakah ada, bagaimana dan sebagainya. Pertanyaan yang dikemukakan harus dapat diukur, bukan hanya sekedar pertanyaan umum yang tidak dapat diukur oleh peneliti.

CONTOH RUMUSAN MASALAH PADA PENELITIAN : SOLUSI ALTERNATIF PENANGANAN DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP KERAGAAN SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERKEBUNAN

Hasil peneli­tian InterCAFE (2009) mengindikasikan bahwa beberapa desa pada 8 (de­lapan) provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah yang intensitas perkebunannya tinggi telah merasakan dampak krisis global sejak Juni 2008. Rumah tangga sektor perkebunan di Provinsi Jambi terutama kelapa sawit dan karet merupakan kelompok masyarakat terkena dampak langsung dari anjloknya harga komoditas akibat krisis ekonomi global. Kedua komoditas perkebunan merupakan komoditas unggulan daerah karena selama beberapa tahun mampu memberikan kontribusi positif bagi perekonomian daerah. Jumlah rumah tangga yang terlibat pada kedua komoditas perkebunan yaitu karet dan kelapa sawit masing-masing 235.088 dan 158.669. Besarnya jumlah rumah tangga kedua sektor ini tidak hanya berdampak pada perekonomian sektor perdesaan dan bahkan ekonomi daerah secara keseluruhan termasuk sektor lain baik terkait langsung maupun tidak langsung.

Penurunan harga TBS dan bokar pada tingkat petani tidak hanya berhenti pada menurunnya pendapatan rumah tangga tetapi memiliki dampak lanjutan berupa perubahan pola konsumsi dan produksi. Penurunan penerimaan akan direspon dengan mengurangi pengeluaran konsumsi baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun belanja modal. Penurunan daya beli petani dan pada saat bersamaan harga pupuk dan obat-obatan tidak mengalami perubahan dan bahkan cenderung naik akan mengurangi penggunaan kedua input. Pada sisi lain harga output yang rendah dan bahkan tidak mampu menutupi biaya panen serta tidak adanya kepastian pasar output akan menurunkan motivasi sebagian petani untuk pemanenan disamping. Penggunaan input usahatani yang rendah dan penelantaran pemanenan dalam jangka waktu lama akan berdampak negatif terhadap produktivitas tanaman pada masa akan datang. Kondisi ini terutama terjadi pada petani yang tidak ikut dalam kemitraan atau petani mandiri. Pada petani kemitraan terutama dengan perusahaan inti yang memiliki industri pengolahan adanya akses pasar output serta adanya kebijakan perusahaan inti dampak lanjutan seperti ini relatif lebih rendah dibanding non-kemitraan.

Laju penurunan harga Gokar karet pada tingkat petani relatif lebih “smooth” dibanding dengan anjloknya harga TBS dan Gokar karet relatif dapat disimpan lebih lama dibanding TBS. Faktor ini menyebabkan besaran dampak baik terhadap pendapatan maupun pola konsumsi dan produksi serta produktivitas antar kedua komoditas berbeda. Harga Gokar yang turun dapat direspon dengan menunda penjualan oleh petani karet tetapi sebaliknya harga TBS yang turun tidak dapat direspon dengan menunda penjualan 1 atau 2 saja oleh rumah tangga TBS akan membusuk dan tidak akan diterima oleh industri pengolahan. Problem bagi perkebunan kelapa sawit ini diperparah apabila aksesibilitas ke lokasi industri tidak atau kurang baik akibat jarak yang jauh maupun infrastruktur jalan yang kurang mendukung terutama pada musim hujan.

Beberapa faktor di atas menyebabkan ampak krisis ekonomi global terhadap keragaan sosial ekonomi rumah tangga petani antara komoditas karet dan kelapa sawit serta antara petani kemitraan dan mandiri berbeda. Perbedaan besaran dampak ini akan di respon berbeda oleh masing-masing kelompok rumah tangga petani perkebunan. Tindakan antisipatif sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya yang dimiliki rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan. Daya tahan ekonomi rumah tangga yang memiliki sumber pendapatan bervariasi atau terdiversifikasi akan lebih baik dibanding dengan rumah tangga yang hanya mengandalkan komoditas tunggal. Perbedaan tindakan antisipatif juga akan tergantung pada pola konsumsi yang telah terbentuk selama ini, dimana rumah tangga yang sebelum krisis (harga output tinggi) menggunakan sebagian pendapatan untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif cenderung akan lebih sulit untuk melakukan tindakan antisipatif dibanding rumah tangga yang memiliki simpanan atau tidak terlalu konsumtif ketika harga output perkebunan baik.

Berdasarkan kepada identifikasi permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut;

1. Bagaimanakah dampak krisis ekonomi global yang menyebabkan anjloknya harga komoditas terhadap pendapatan, pola produksi dan konsumsi serta penggunaan input dan teknologi budidaya pada rumah tangga perkebunan.

2. Bagaimanakah perilaku atau respon rumah tangga perkebunan dalam mempertahankan keberlanjutan usahatani perkebunan dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.

3. Bagaimanakah variasi tindakan antisipatif yang telah dilakukan rumah tangga dalam menghadapi goncangan eksternal serta menyesuaikan diri dengan kondisi sosial ekonomi yang menurun.

4. Strategi apakah yang dapat menjadi solusi alternatif guna memperkuat daya tahan ekonomi rumah tangga perkebunan terhadap pengaruh faktor eksternal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *