FIELD NOTE SARASEHAN
Pembangunan Sosial Orang Rimba adalah proses perubahan sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba yang harus direncanakan sedemikian rupa dimana dalam proses tersebut peranan manusia menjadi pusat dari proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang diikuti oleh proses pembangunan ekonomi yang dinamis. Dalam hal ini pembangunan sosial masyarakat adat Orang Rimba lebih menitikberatkan kepada proses pemberdayaan masyarakat sebagai kuncinya, dan perubahan sosial yang direncanakan.
Sesuai dengan arah kebijakan dan strategi pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, upaya keberlanjutan pembangunan ekonomi ditempuh melalui strategi: peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan kesenjangan antar wilayah, peningkatan pendapatan perkapita serta pengurangan kesenjangan antar kelompok, penurunan tingkat kemiskinan sehingga jumlah penduduk miskin berkurang serta penerapan pola produksi/kegiatan ekonomi dan pola konsumsi hemat dan ramah lingkungan. Sementara itu keberlanjutan pembangunan sosial, ditempuh melalui beberapa strategi, diantaranya peningkatan keterjangkauan layanan dan akses pendidikan, kesehatan, perumahan, pelayanan air bersih dan sanitasi masyarakat.
Merujuk kepada arah kebijakan di atas, strategi yang ditempuh oleh pemerintah RI masih menyisakan beberapa kelemahan, terutama keterjangkauan implementasi strategi kepada Orang Rimba (indigenous people). Kondisi kehidupan Orang Rimba yang seringkali berpindah, minimnya akses transportasi dan komunikasi serta kehidupan Orang Rimba yang ekslusif menyebabkan Orang Rimba kurang tersentuh oleh berbagai program pembangunan yang semestinya mereka dapatkan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Selain kondisi di atas, kehidupan Orang Rimba saat ini telah mengalami perubahan sosial karena proses interaksi dengan dunia luar dan telah mengenal ekonomi uang. Berbagai persoalan tengah dihadapi oleh komunitas Orang Rimba, mulai dari persoalan internal dalam kelompok hingga persoalan dengan pihak-pihak eksternal dimana Orang Rimba saling berinteraksi. Di dalam internal kelompok Orang Rimba, terlihat adanya kerapuhan struktur sosial dan krisis kepemimpinan. Temenggung, sebagai pemimpin tertinggi dari kelompok Orang Rimba tidak lagi dipatuhi dan dianggap sebagai personil yang mengayomi mereka. Jika perselisihan terjadi antara keluarga Orang Rimba dengan Temenggung, maka keluarga ini akan memisahkan diri dan dengan mudah membentuk struktur kepemimpinan baru.
Pengamatan lapang menunjukkan bahwa pemahaman Orang Rimba terhadap adat istiadat mereka relatif lemah. Perilaku-perilaku yang masa dahulu tidak boleh dilakukan atau tabu, sekarang ini perilaku-perilaku tersebut sepertinya sudah bukan merupakan hal yang tabu lagi. Kejadian pencurian buah-buahan warga desa, pencurian brondol kelapa sawit warga dan perusahaan serta kejadian penuntutan denda terhadap Jenang Air Hitam, merupakan indikasi bahwa pemahaman terhadap adat kebiasaan Orang Dalam sudah semakin dangkal. Di satu sisi, kondisi ini di tenggarai karena kurangnya transfer pemahaman adat dan budaya dari kaum tua dan di sisi lain golongan muda dari Orang Rimba, telah terpapar dengan dunia luar dengan berbagai kebutuhan material, sementara sumber-sumber penghidupan mereka relatif terbatas.
Persoalan relasi Orang Rimba dengan pihak-pihak eksternal, juga semakin kompleks. Kebiasaan mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan hidup dibawah sudung (semacam tenda dari plastik hitam) diantara pepohonan kelapa sawit, tanpa sumber penghidupan yang pasti, telah menyebabkan Orang Rimba seringkali diminta pergi ke tempat lain oleh pemilik-pemilik kebun kelapa sawit. Kondisi ini diperparah lagi oleh adanya stereotip negatif dari sebagian warga desa terhadap Orang Rimba dengan istilah mereka sebagai “pembohong, kotor, pencuri”. Munculnya beberapa kasus tuduhan pencurian brondol tandan buah segar kelapa sawit kepada Orang Rimba, bahkan diikuti oleh tindak kekerasan oleh keamanan perusahaan kepada mereka, menjadikan relasi Orang Rimba dengan pihak-pihak eksternal menjadi semakin tidak harmonis.
Sumber-sumber penghidupan yang terbatas, hewan buruan yang semakin langka sementara kebutuhan material berupa sepeda motor, handphone, bahan bakar, serta kebutuhan uang untuk menikah bagi keluarga muda ditengarai telah menjadi penyebab proses terjadinya jual beli lahan dalam kawasan Tanam Nasional Bukit 12 (TNBD) yang di buka oleh Orang Rimba baik berupa kebun maupun lahan kosong kepada pihak-pihak eksternal. Kondisi ini menjadikan relasi Orang Rimba dengan pihak TNBD, seolah-olah membentuk hubungan simbiosis parasitisme. Di satu pihak, secara implisit, pihak TNBD telah memberi kelonggaran bagi Orang Rimba untuk memanfaatkan ruang TNBD untuk perbaikan ekonominya, tetapi di sisi lain Orang Rimba telah melakukan transaksi jual beli secara diam-diam (bawah tangan) kepada pihak-pihak eksternal.
Kondisi lain yang cukup penting menjadi persoalan Orang Rimba dengan pihak-pihak eksternal adalah kesan seolah-olah Orang Rimba mendapat perlakuan khusus dengan hak-hak eksklusif. Jika warga desa atau aparat keamanan perusahaan melakukan kesalahan terhadap Orang Rimba, maka warga desa atau aparat keamanan perusahaan ini akan ditangkap dan akan dikenakan sangsi sesuai hukum yang berlaku. Akan tetapi jika Orang Rimba membuat kesalahan, maka mereka tidak akan ditangkap dan tentunya tidak akan dijatuhi sangsi hukum. Kesan yang hidup di tengah masyarakat dan Orang Rimba sendiri, bahwa mereka merupakan komunitas dengan hak-hak eksklusif dan kebal hukum, telah menjadi kontra-produktif bagi terwujudnya hubungan simbiosis mutualisme antara Orang Rimba dengan masyarakat. Bahkan kondisi ini dapat menjadi konflik horizontal yang bersifat laten antara Orang Rimba dengan pihak-pihak eksternal.
Di bidang pendidikan, anak-anak komunitas Orang Rimba, belum mendapat sentuhan pendidikan formal sebagaimana program wajib pendidikan dasar untuk anak-anak umur 7 sampai dengan 12 tahun. Karakteristik mereka yang berpindah, mempunyai hubungan yang dekat dengan ibu mereka, serta jarak yang relatif jauh dari fasilitas pendidikan, menjadikan anak-anak komunitas Orang Rimba, tertinggal di bidang pendidikan. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan anak-anak Orang Rimba telah dilakukan oleh berbagai pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, pihak Perusahaan dan Jenang selaku pengayom Orang Rimba. Meskipun dengan jumlah peserta didik yang relatif kecil, pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak-pihak terkait ini adalah dalam bentuk sekolah informal (sekolah rimba) dengan kemampuan akhir yang diharapkan bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tantangan dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah alam ini juga relatif besar, terutama dari para orang tua ortodok yang berpikiran bahwa sekolah akan merubah adat, sekolah tidak membuat perut jadi kenyang.
Pada dasarnya, stakeholder telah berupaya melakukan program dan kegiatan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh komunitas Orang Rimba. Pemerintah daerah, telah membangun fasilitas rumah bagi Orang Rimba, dengan harapan Orang Rimba tidak lagi hidup berkelana dan dapat hidup menetap. Pihak Perusahaan, telah melakukan berbagai program dan kegiatan, mulai dari program kesehatan, program pendidikan, program ekonomi produktif bahkan bantuan beras bagi Orang Rimba. Pihak Jenang, juga menyelenggarakan kegiatan sekolah alam di rumah singgah. Pihak TNBD, juga telah melakukan pembinaan agar Orang Rimba dapat melakukan aktivitas usahatani dengan baik di dalam Kawasan TNBD. Namun demikian, berbagai program stakeholder tersebut, terkesan tumpang tindih dan belum bersinergi dengan baik.
Pelaksanaan program pembangunan sosial masyarakat adat haruslah lebih mengedepankan pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat/LSM, dan dunia usaha. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan komunitas adat di kawasan TNBD telah ada partisipasi dari pihak LSM dan perusahaan perkebunan swasta yang berada di sekitar kawasan TNBD dalam melakukan program pemberdayaan. Namun hal ini belum dapat mencapai hasil yang optimal dikarenakan masih terbatasnya cakupan program, rendahnya efektifitas pelaksanaan, program masih bersifat charity, tidak adanya komunikasi yang efektif antara para pihak yang melakukan program pemberdayaan, dan tidak ada program pemberdayaan ekonomi bagi komunitas adat Orang Rimba.
Oleh karena itu diperlukan forum kemitraan bagi para pihak yang memiliki strategi dan kebijakan serta program pemberdayaan bagi komunitas adat terasing Orang Rimba di Provinsi Jambi. Inisiasi gagasan pembentukan wadah bagi para pihak dalam melaksanakan strategi kebijakan dan program kegiatan perubahan sosial bagi Orang Rimba telah pula di diskusikan dan disepakati dalam wokshop “Menggagas Model Intervensi Perubahan Sosial Orang Rimba” yang dilaksanakan oleh Prakarsa Madani Institute bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sarolangun pada tanggal 16 Januari 2019.