FIELD NOTE OLAK BESAR

SABTU, 23 FEBRUARI 2019

KEPALA DESA OLAK BESAR: MUHAMMAD ATTIQ dan KEPALA DESA PAKU AJI: A. MUKTI

Kepala Desa Olak Besar dan Kepala Desa Paku Aji, sangat mendukung adanya kerjsasama multi pihak dalam menuju proses perubahan sosial orang rimba di provinsi Jambi. Pada dasarnya orang rimba di Provinsi Jambi, terutama yang menempati Taman Nasional Bukit Dua Belas, merupakan satu kesatuan yang utuh, sesuai dengan peribahasa yang mereka anut : “Tanah Garo Pangkal Waris, Sungai Serengam Ujung Waris, Air Hitam Tanah Berjenang”. Pada waktu dahulu, jika orang rimba melakukan aktivitas melangun (pergi meninggalkan tempat bermukim untuk sementara untuk menghilangkan kesedihan), wilayah melangun mereka terfokus kepada tiga tempat tersebut. Jika mereka berasal dari air hitam, kemudian mereka melangun, maka daerah tempat tujuan melangun adalah Tanah Garo (Pangkal Waris) atau Sungai Serengam (Ujung Waris). Di tempat tujuan melangun, mereka diterima oleh orang desa yang mereka anggap saudara dan mereka diizinkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama kegiatan melangun. Saat ini menurut kedua kepala desa institusi sosial tersebut, sudah semakin kabur, karena menyempitnya ruang hidup orang rimba, dan ditengarai pula ada pihak-pihak tertentu yang berupaya memutus ikatan sosial ini karena dianggap merugikan orang rimba. Oleh karena itu menurut ke dua kepala desa, salah satu upaya kerja sama multi pihak ini adalah mendorong dan memulihkan kembali institusi sosial ini, sehingga aktivitas tujuan melangun sebagai kebiasaan orang rimba, tidak lagi keluar dari tiga daerah yang dipahami sebagai wilayah yang dianggap sebagai saudara bagi orang rimba.

Selain itu, kedua kepala desa juga mengharapkan adanya sinergitas dan koordinasi yang dilakukan oleh stakeholder terhadap orang rimba. Salah satu topik yang menarik dibicarakan adalah masalah Rekam Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk orang rimba. Menurut kedua kepala desa, orang rimba yang berdiam di Kecamatan Bathin XXIV (Kabupaten Batanghari), agak berbeda dengan orang rimba yang berdiam di Air Hitam (Kabupaten Sarolangun). Orang rimba yang berdiam di Kabupaten Batanghari (Sungai Serengam), terutama kaum perempuan, sangat tabu difoto (diambil gambar untuk KTP). Oleh karena itu perlu jalan keluar yang harus dibicarakan oleh pihak pemerintah terhadap kondisi dan situasi yang dihadapi oleh orang rimba yang bermukim di daerah Sungai Serengam.

Hal lain yang juga menarik untuk dicermati, menurut kedua kepala desa adalah, koordinasi stakeholder dalam melakukan aktivitas pemberdayaan kepada orang rimba. Stakeholder yang melakukan aktivitas Bersama orang rimba seringkali tidak melibatkan pemerintah desa, baik pemerintah desa Olak Besar maupun pemerintah desa Paku Aji, padahal pemerintah desa merupakan orang-orang yang mempunyai kedekatan sosial dengan orang rimba. Pemerintah desa seringkali terlibat dalam penyelesaian sengketa antar orang rimba, maupun antara orang rimba dengan pihak-pihak eksternal. Keputusan untuk menetapkan denda dan negosiasi besaran dendapun dilakukan oleh pemerintah desa. Selain itu pemerintah desa juga mengetahui dengan pasti harta pusaka seorang temenggung (berupa pohon sialang, dan jika temenggung meninggal, harta pusaka inilah yang akan diwariskan kepada temenggung yang baru). Oleh karena it uke dua kepala desa sangat mengharapkan bahwa aktivitas-aktivitas pemberdayaan terhadap orang rimba dan identifikasi kebutuhan orang rimba ke depan, perlu melibatkan pemerintah desa sebagai stakeholder yang juga harus melakukan pengayoman kepada orang rimba.

Ditambahkan oleh ke dua kepala desa, bahwa ada 4 (empat) Temenggung Orang Rimba yang bermukim di wilayah Kecamatan Bathin XXIV (Kabupaten Batanghari): Temenggung Menyurau, Temenggung Nyenong, Temenggung Ngamal dan Temenggung Nggirang. Temenggung Menyurau, bermukim di wilayah Sungai Terab, mempunyai 79 Kepala Keluarga, Temenggung Nyenong, bermukim di wilayah Sungai Serengam, mempunyai 35 Kepala Keluarga. Temenggung Ngamal, bermukim di wilayah sungai Sakolado, mempunyai 28 Kepala Keluarga, serta Temenggung Nggirang, bermukim di wilayah sungai Kejasung Kecil, mempunyai 27 Kepala Keluarga.

Menyimak pemahaman kedua kelapa desa berkenaan dengan kondisi orang rimba di wilayah mereka, maka dapat disimpulkan bahwa ke dua kepala desa sangat memahami kondisi orang rimba dan merupakan suatu yang wajar jika ke depan, intervensi yang dilakukan stakeholder terhadap orang rimba menuju perubahan sosial yang memandirikan orang rimba, sangat perlu melibatkan pemerintah desa. Selain itu, berbagai program atau kegiatan terhadap orang rimba dirasakan memang belum mampu menjawab tuntutan perubahan ke arah yang relatif lebih baik bagi orang rimba. Oleh karenanya sinergitas dan koordinasi yang baik perlu di jalankan oleh forum kerja sama multi pihak yang sudah digagas pada tanggal 16 Januari 2019 di Sarolangun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *