Komuniti (community)
Ditulis ulang dari materi pembekalan untuk tenaga lapang dalam penelitian LLI tahun 2001
Jauh sebelum dikenalnya konsep kessatuan politik yang disebut negara (state), entah itu dalam bentuk wujud kerajaan-kerajaan kecil dan besar, pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang, terlebih lagi pada era Negara Kesatuan RI sekalipun, individu-individu yang menjadi warga persekutuan-persekutuan politik dimaksud telah hidup dan menjadiwarga—dalam berbagai wujud persekutuan sosial yang amat beragam coraknya. Mulai dari bentuk persekutuan sosial yang disebut rumahtangga, atau persekutuan-persekutuan sosial lain yang melingkupi batas-batas sosial yang lebih luas.
Salah satu wujud persekutuan sosial yang penting – jika tidak dapat dikatakan terpenting – adalah apa yang kemudian disebut sebagai komuniti (community), yang didefinisikan sebagai “kesatuan hidup manusia, yang menenmpati suatu wilayah yang nyata, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komuniti.
Komuniti adalah terjemahan sekaligus padanan yang biasa digunakan dari kata community. Dewasa ini istilah komuniti telah memperolah tempat dalam dunia konseptual dihampir seluruh kalangan pemerintah, ilmuwan sosial, ataupun aktivis organisasi LSM. Ada dua padanan yang dipakai orang untuk menterjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Masing-masing adalah “komuniti” dan “komunitas”. Koentjoroningrat, mengusulkan agar istilah komuniti menunjuk pada satuan hidup masyarakat setempat yang khas, dengan suatu identitas dan solidaritas yang telah terbentuk dari dalam dan berkembang dalam waktu yang lama. Sedangkan komunitas dipakai guna mengacu pada kelompok di dalam masyarakat yang dibentuk dari atas, sehingga identitas dan solidaritas antar penduduknya masih lemah.
Oleh sebab itu ada yang berpendapat bahwa persekutuan-persekutuan sosial yang demikian itu dapat pula disebut sebagai persekutuan masyarakat adat (adat gemeenschap). Pada tingkatan selanjutnya, ikatan struktural masyarakat desa yang berbentuk kesatuan masyarakat adat – dimana tia-tiap warga masyarakat diharapkan menghayati pedoman hidup sosial – meningkat menjadi kesatuan masyarakat hukum adat (adat rechts gemeenschap) – dimana tiap-tiap warga masyarakat diharapkan mematuhi peraturan dan larangan yang diperkuat dengan ancaman hukum danmemerlukan peradilan yang melembaga.
Konsep persekutuan masyarakat adat atau komuniti menunjukkan suatu ikatan sosial primer yang hubungan antar anggotanya akrab, bersifat pribadi dan eksklusif. Citri-ciri demikian memang merupakan ciri utama yang mewarnai kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Sebagai suatu komuniti maka masyarakat hukum adat juga merupakan sistem sosial yang memiliki seperangkat pranata dan lembaga sosial. Ciri-ciri dimaksud adalah:
-
Adanya ikatan yang didasarkan atas keamanan daerah/wilayah/tempat tinggal atau kesamaan nenek moyang/hubungan darah atau ikatan tempat tinggal dan hubungan darah,
-
Mempunyai tata susunan yang tetap atau pemerintahan yang tetap,
-
Mempunyai harta benda baik yang bersifat materil maupun inmateril,
-
Memiliki teritori atau wilayah yang batas-batasnya diketahui, dan diakui baik oleh warga masyarakat hukum itu sendiri maupun pihak luar yaitu masyarakat hukum lainnya.
Kesatuan-kesatuan sosial yang disebut komuniti ini – dapat pula disebut dengan persekutuan hidup setempat – ada yang bersifat teritorial, dan ada pula yang bersifat genealogis. Komuniti yang bersifat teritorial lebih menitik beratkan pada persatuan warga segi kewilayahan, bukan atas dasar asal usul turunan warga yang hidup di atasnya., seperti apa yang disebut dengan desa di Pulau Jawa. Sedangkan persekutuan hidup setempat yang bersifat genealogis, dalam arti persekutuan hidup setempat itu terwujud atas dasar ikatan-ikatan hubungan persaudaraan dari sejumlah warga yang berasal dari suatu garis keturunan tertentu. Ada juga persekutuan hidup yang terbentuk atas dasar orientasi kedua prinsip tersebut.