PPMA, Pengenalan Konsep Pengembangan Masyarakat

Pengantar

Dewasa ini sering kali kita terpapar tentang meningkatnya berbagai permasalahan yang ada, baik dilingkungan masyarakat perkotaan maupun perdesaan juga pada masyarakat yang berbasis pada aktivitas industri maupun pada masyarakat yang berbasis pada aktivitas pertanian. Permasalahan yang mengemuka diantaranya: meningkatnya angka penduduk di bawah garis kemiskinan, meningkatnya angka pengangguran, berkurangnya layanan yang diberikan oleh sumberdaya alam, meningkatnya angka kebakaran hutan dimusim kemarau, banjir di musim hujan, anak jalanan dan tuna karya.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa hal tersebut terjadi? Kemudian bagaimana cara  memperbaiki kondisi yang ada? Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan beberapa masalah yang dapat dilihat dari aspek makro, mikro maupun mezo.

Aspek Makro: Kesenjangan Pembangunan Desa – Kota.

Kesenjangan pembangunan desa – kota telah terakumulasi dari waktu yang relatif lama, bahkan puluhan tahun. Pemusatan pembangunan di kota, membuat kota semakin maju, banyak fasilitas sedangkan daerah perdesaan menjadi terpinggirkan.

  Migrasi ke kota untuk mencari pekerjaan menjadi sesuatu yang tidak terelakkan karena memang kota menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya kesempatan kerja dan berbagai aktivitas ekonomi baik formal aupun informal. Keadaan seperti ini menyebabkan sumberdaya manusia yang poensial dari daerah perdesaan yang seharusnya difokuskan membangun daerah perdesaan justeru mengalir ke kota dan kebanyakan dari mereka tidak dapat berkompetisi dengan sumberdaya manusia yang telah mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang relatif tinggi.

Pemandangan pedagangan asongan, pedagang emperan, peminta-minta di persimpangan jalan merupakan bagian dari gejala masalah sosial yang terdapat di kota. Namun sebaliknya, bagi sipelaku sendiri, pedagang asongan, pedagang emperan dan peminta-minta, aktivitas yang mereka lakoni lebih dianggap sebagai pemecah masalah dari kondisi yang menghimpit diri mereka. Ketidak berdayaan dalam persaingan di pasar kerja seringkali menimbulkan kemiskinan struktural dan bahkan membentuk budaya miskin.

Aspek Mikro: Mentalistas Materialistik dan Instan

Mentalias materialistik dan instan, ditengarai telah memunculkan mentalitas korup. Bahkan korupsi telah menjadi sarapan pagi, makan siang dan makan malam bagi sekelompok orang. Hampir tidak ada sektor yang tidak tersentuh oleh mentalitas tersebut. Secanggih apapun mekanisme pengawasan, selalu ada saja ruang bagi mereka yang terlatih untuk melakoni perilaku korup.

Sisi lain dari mentalitas materialistik dan instan adalah lemahnya etos kerja pada kelompok masyarakat tertentu. Tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan etos kerja melalui pendidikan dan pelatihan, karena kerja dipandang sebagai beban. Pendidikan dipandang sebagai aktivitas yang merepotkan, sehingga pendidikan yang dicari adalah pendidikan instan.

Selain dua hal di atas, masalah yang juga menjadi realitas sebagian besar masyarakat adalah lemahnya kepercayaan diri dari masyarakat. Seringkali masyarakat tidak mempunyai keyakinan bahwa mereka secara kolektif mampu keluar dari persoalan bersama yang  mereka rasakan. “Air irigasi tidak sampai ke sawah kami Pak, bagaimana jalan keluarnya menurut Bapak? Begitulah uangkapan senada banyak ditemukan ketika melakukan diskusi dengan kelompok masyarakat. Situasi yang tak kalah pentingnya adalah maraknya mentalitas pengemis. “Apa yang Bapak bawa? Adakah kegiatan yang dapat kami lakukan? Ada tekennya Pak (Uang transpor)? Betapa sering pertanyaan serupa kita dengar di banyak tempat. Dan semua itu merupakan sisi kurang baik dari pola pembangunan topdown yang telah dilakukan selama puluhan tahun.

Aspek Mezo: Melemahnya Sosial Trust dalam Komunitas dan Organisasi.

Melemahnya sosial trust dapat dilihat pada berbagai komunitas dan organisasi. Pada komunitas-komunitas adat, dapat dilihat bahwa sangsi-sangsi adat yang dijatuhkan oleh pemangku adat seringkali tidak efektif karena ketidak percayaan anggota komunitas kepada pemangku kepentingan. Pada organisasi, misalnya, betapa banyak organsasi tidak berjalan dengan baik, karena pengurus-pengurus organisasi tidak dipercaya oleh anggota organisasi. Betapa banyak kita lihat di lapangan, begtu banyak kantor koperasi sekarang sudah tidak mempunyai aktivitas lagi, karena menurut pendapat anggota, pengurusnya adalah KUD “Ketua Untung Duluan”.

Lemahnya sosial trust dapat muncul karena adanya personal yang dianggap tidak kompeten akan tetapi menempati posisi tertentu, atau juga karena belum ada mekanisme yang ajek yang dapat menampung aspirasi berbagai pihak. Sosial trust juga dapat melemah, karena pemimpin yang kurang adil (perilaku belah bambu), pemimpin yang berperilaku kurang baik (tongkat membawa rebah) dan pemimpin yang tidak mau mengambil resiko untuk memecahkan satu persoalan yang dihadapi.

Demikian sekelumit realitas masyarakat secara umum, dan juga menimpa masyarakat pertanian yang dominannya bermukin dan beraktivitas didaerah perdesaan. Masyarakat petani karet, masyarakat petani kelapa sawit baik sebagai plasma mapun petani swadaya, masyarakat petani padi, jagung dan lainnya, juga diterpa oleh masalah-masalah yang seperti  yang dikemukakan diatas. Bertitik tolak dari realitas yang dihadapi masyarakat tersebut, upaya pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat agribisnis menjadi penting diakukan.

Menurut Jim Ife dan Frank Toserio, ada dua kerangka dasar (perspektif) dalam upaya melakukan kerja-kerja pengembangan masyarakat: perspektif ekologi dan perspektif keadilan sosial.

Perspektif Ekology

Perspektif ini lebih dititik beratkan kepada pemenuhan prinsip-prinsip ekologi (ecological perspektif) dalam pengembangan masyarakat. Prinsip-prinsip dasar ekologi yang digunakan dasar pengembangan masyarakat adalah holism (menyeluruh), sustainability (keberlanjutan), diversity (keberagaman), dan equilibrium (keseimbangan).

Prinsip Ekologi 1: Holism (Menyeluruh)

Prinsip holisme mensyaratkan bahwa setiap fenomena harus dipandang sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan sistem. Fenomena-fenomena ini tidak dicirikan oleh adanya keterkaitan yang linier dan sederhana tetapi harus selalu dipahami bahwa fenomena ini sebagai bagian dari sistem yang maha luas.

Saling ketergantungan antar fenomena sebenarnya diturunkan dari diktum klasik ekologi “anda tidak dapat berbuat hanya sendiri”, karena segala konsekuensi yang ada dalam suatu sistem sering tidak dapat dipresiksi dan diantisipasi. Oleh karena itu perlu dipahami secara menyeluruh saling keterkaitan dan interaksi fenomena-fenomena yang ada. Tidak ada titik awal dan titik akhir dari suatu proses dan tidak ada batas-batas yang jelas dari fenomena tersebut, dan karenanya fenomena tersebut harus dipandang sebagai jaringan interrelasi yang kompleks.

Prinsip holisme menghendaki pendekatan yang general dalam mencari solusi terhadap suatu masalah. Pendekatan ini juga lebih menekankan perubahan yang organik, bukan perubahan yang radikal yang kadangkala membawa konsekuensi negatif bagi sistem. Perubahan harus diinisiasi sebagi proses sebab akibat dalam langkah yang kecil menuju tujuan dan wilayah yang luas.

Perspektif holisme juga menghendaki pemahaman adanya saling keterkaitan antara pengetahuan dan aksi, teori dan praktek, kenyataan/realitas dan nilai. Pemahaman ini merupakan kerangka yang penting dalam kaitannya dengan kegiatan pengembangan masyrakat.

Prinsip Ekologi 2: Sustainability ( Keberlanjutan).

Prinsip keberlanjutan menghendaki bahwa sistem kehidupan harus mampu dipertahankan dalam jangka panjang. Sumberdaya yang ada dalam sistem harus digunakan sesuai dengan kemampuan sumberdya tersebut untuk memperbaharui diri, sumberdaya energi terbarukan harus digunakan secara bijak, output harus dibatasi sesuai dengan kemampuan lingkungan menyerap semua konsekuensi dari proses produksi tersebut (menyerap limbah), dan tingkat konsumsipun harus diminimalisir.

Konsep keberlanjutan pada prinsip ekologi ini tidak sama dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana yang dibahas dalam Our Common Future oleh Word Commision end Environment and Development (WCED). Dalam pembahasan WCED ini, keberlanjutan hampir sama dengan pembangunan yang berkelanjutan, dan ide pembangunan sangat erat hubungannya dengan konsep pertumbuhan yang mengaburkan arti dari keberlanjutan itu sendiri. Seperti kata komunitas, kata keberlanjutan (sustainable) menjadi istilah yang ditempatkan dengan keliru dan kehilangan makna substantif. Prinsip ekologi tentang keberlanjutan (sustainability) menyatakan bahwa pengembangan teknologi untuk mengatasi berbagai krisis ekologi harus diutamakan pada pengembangan teknologi yang menjamin kelangsungan hidup (sustainability).

Prinsip Ekologi 3: Diversity (Keragaman)

Keragaman merupakan salah satu prinsip dasar dari perspektif ekologi. Secara alamiah, keragaman organisme dan keragaman sistem berkembang sedemikian rupa untuk memenuhi berbagai kebutuhan pada keadaan dan situasi tertetu. Dan melalui keragaman sistem alam, komponen-komponen yang ada dalam sistem bisa dikembangkan, beradaptasi dan tumbuh. Dengan keragaman suatu sistem tidak akan terkena dampak buruk jika memang terjadi bencana/masalah. Sebagai contoh, keragaman budaya akan dapat membuat budaya tersebut beradaptasi dengan keadaan baru jika terjadi perubahan.

Prinsip keragaman tidak menghendaki satu jawaban untuk satu masalah atau satu cara saja untuk melakukan sesuatu dalam rangka mencari solusi terhadap masalah. Asumsi hanya ada satu cara atau solusi yang terbaik merupakan asumsi yang selalu dipertanyakan oleh prinsip keragaman.

Prinsip keragaman selalu menekankan adanya berbagai macam cara yang berbeda dalam mengerjakan sesuatu, dan oleh karenanya orang-orang dapat belajar satu sama lainnya dari pengalaman yang ada. Dan jikapun ada perubahan, maka perubahan dipandang sebagai suatu proses yang terjadi sebagai hasil dari akumulasi kearifan yang ada.

Prinsip keragaman sejalan dengan arah desentralisasi. Jika keragaman memang sudah dihargai sebagai suatu prinsip, maka orang-orang dianjurkan untuk menemukan solusi secara lokal terhadap masalah yang timbul dan cara-cara yang akan dilakukan juga harus sesuai dengan kondisi lokal yang ada. Dengan desentralisasi komunikasi horizontal (antar komunitas) dapat dilakukan sebagai ajang saling belajar dari pengalaman dan kondisi ini dirasakan lebih efektif dari pada dilakukan dengan sistem yang tersentralisasi.

Prinsip Ekologi 4: Equilibrium (Keseimbangan)

Prinsip ekologi terkahir yang perlu dipertimbangkan adalah prinsip keseimbangan. Prinsip ini menekankan pentingnnya hubungan (interelasi) antar sistem dan perlunya mempertahankan keseimbangan antar sesama sistem tersebut. Jadi perspektif ekologi memandang bahwa kestabilan (balance), keharmonisan (harmony) dan `keseimbangan (equilibrium) merupakan suatu yang sangat bernilai. Oleh karena itu proses mediasi, resolusi konflik dan proses membangun konsensus merupakan aktivitas yang memberikan tempat paling penting dalam mempertahankan sesuatu yang sangat bernilai tersebut. Bahkan pengembangan struktur yang ko-operatif lebih dianjurkan dari pada melakukan pengembangan struktur kompetitif.

Perspektif ekologi dirasa penting sebagai kerangka berfikir dalam kegiatan pengembangan masyarakat (CD), terutama dikaitkan dengan krisis ekologi dan krisis kesejahteraan manusia yang terjadi pada akhir abad ke duapuluh. Namun demikian perspektif ekologi tidak secara khusus ditujukan kepada masalah mendasar dalam pengembangan masyarakat (CD). Oleh karena itu perspektif keadilan sosial (sosial justice) seperti keadilan, hak asasi manusia, tekanan struktural dan ketidak beruntungan struktural diperlukan untuk memperkaya pemahaman dalam pengembangan masyarakat.

Perspektif Keadilan Sosial

Pengembangan masyarakat dapat dilihat dari cara pandang/perspektif keadilan sosial. Ada enam prinsip keadilan sosial yang dijadikan dasar kerja-kerja pengembangan masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut adalah: ketidak-beruntungan secara struktural, pemberdayaan, kebutuhan, kenyamanan tanpa kekerasan, partisipasi dan hak-hak masyarakat. Bagian ini hanya menguraikan prinsip ketidak-beruntungan struktural, sementara kebutuhan, partisipasi dan kenyamanan, merupakan bagian yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

Prinsip Ketidak-beruntungan Strutural

Fenomena kondisi ketidak beruntungan secara struktural banyak ditemui dalam masyarakat. Kondisi ini juga disebabkan oleh banyak faktor, dan untuk menentukan faktor-faktor penyebab ketidak-beruntungan struktural ini ada juga beberapa cara pandang. Kondisi ketidak-beruntungan secara struktural ini paling tidak dapat dikenali melalui tidak terealisasinya situasi ideal ditengah-tengah masyarakat. Situasi ideal yang dikehendaki agar terjamin keadilan sosial bagi masyarakat adalah: adanya kebebasan atau tidak tergantung, terbukanya kesempatan untuk berkembang lebih maju dan tidak adanya pengabaian terhadap upaya yang dilakukan masyarakat untuk mewujudkan keadilan.

Kondisi-kondisi ideal seperti yang disebutkan di atas, sebenarnya dapat dipahami dengan mudah jika diterapkan dalam konteks individu-individu. Akan tetapi analisis dari sudut pandang individu hanya salah satu cara saja untuk memahami masalah-masalah sosial dan ketidak-adilan sosial. Selain dalam konteks atau pandangan individu adalagi dua pandangan lain untuk memahami masalah sosial dan ketidak-adilan sosial, yakni pandangan tentang reformasi kelembagaan/institusi dan pandangan tentang perlunya pertimbangan-pertimbangan struktural.

Perspektif/Pandangan Individu

Pandangan individu terhadap masalah sosial terutama dilekatkan kepada individunya dan karenanya solusi yang dibangun juga ditujukan kepada individu yang bersangkutan. Misal, kemiskinan, bunuh diri, depresi dan pengangguran dipandang sebagai akibat dari penyakit/patologi (psikologi, biologis, atau moral) yang diderita oleh individu. Solusinya dianjurkan agar individu tersebut menjalani terapi dalam merubah perilaku tersebut.

Faktor-faktor eksternal yang meyebabkan individu menghadapi masalah seperti di atas tidak dipertimbangkan dalam solusi yang dianjurkan. Artinya individu merupakan korban kesalahan dirinya (blaming the victim).

Perspektif/Pandangan Reformasi Kelembagaan/Institusi

Perspektif reformasi kelembagaan menempatkan masalah-masalah sosial dan ketidak adilan sosial dalam konteks struktur kelembagaan dari masyarakat. Pandangan ini menyimpulkan bahwa masalah-masalah sosial dan ketidak adilan sosial merupakan kontribusi dari ketidak-tepatan sistem yang menjamin keadilan sosial (pengadilan, kepolisian, kehakiman dan lainnya). Kondisi ini bisa dicontohkan dengan masalah kemiskinan. Kemiskinan dipandang sebagai akibat tidak efektifnya sistem keamanan sosial (social security system). Tidak ada Badan/Lembaga yang benar-benar kompeten, yang secara khusus menangani masalah kemiskinan tersebut. Oleh karenanya menurut pandangan ini, masalah-masalah yang muncul dipandang sebagai kesalahan dalam tindakan penyelamatan (blaming the recues). Solusi yang ditawarkan untuk masalah ini adalah memfokuskan diri pada reformasi, penguatan kapasitas dan peningkatan kapasitas kelembagaan/institusi untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan ketidak-adilan sosial.

Perspektif/Pandangan Penyempuranaan Struktural

Pandangan ini berpendapat bahwa masalah sosial dan ketidak-adilan sosial disebabkan karena adanya struktur sosial yang tidak demokratis dan adanya tirani/semena-mena dari struktur sosial yang ada. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendekatan ini menyatakan bahwa masalah-masalah sosial dan ketidak-adilan sosial merupakan korban dari sistem (blaming the system) dan memfokuskan diri pada upaya mengidentifikasi struktur sosial atau sistem sosial yang memungkinkan masalah-masalah sosial tersebut timbul dan berupaya menyempurnakan struktur yang ada agar bisa mengatasi permasalahan yang ada.

Perspektif/Pandangan Struktural yang Lebih Maju /Post Structural

Pandangan ini memusatkan perhatian pada upaya mengkomunikasikan atau mendialogkan (discourse) masalah-masalah sosial mendasar yang ada. Pandangan ini melihat bahwa masalah-masalah dasar yang ada perlu didiskusikan dan dianalisis secara bersama-sama sedemikian rupa sehingga terbangun kesamaan pemahaman, kesamaan makna dan kesamaan bahasa terhadap masalah tersebut. Pendekatan ini menyebutkan bahwa masalah-masalah sosial dan ketidak-adilan sosial yang terjadi merupakan korban dari wacana (blaming the discourse). Oleh karena itu pendekatan ini menganjurkan perlunya menganalisis dan memahami apa yang dipermasalahkan, menganjurkan semua stakeholder dapat mengakses dan memahami masalah yang ada dan dari pemahaman yang ada akan diperoleh titik lemah yang akan dirubah secara bersama-sama.

Dimensi dalam Pengembangan Masyarakat

 

 

Menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero , setidaknya ada enam dimensi pengembangan atau pemberdayaan masyarakat dan kesemuanya berinteraksi satu dengan lainnya dalam bentuk-bentuk yang kompleks. Keenam dimensi tersebut yaitu:

• Pengembangan sosial

• Pengembangan ekonomi

• Pengembangan politik

• Pengembangan budaya

• Pengembangan lingkungan

• Pengembangan personal/ spiritual

Dalam situasi tertentu, tidak semua dimensi ini akan memiliki prioritas yang setara. Masyarakat mana pun akan mengembangkan keenam dimensi tersebut untuk level-level yang berbeda; misalnya, satu masyarakat mungkin memiliki basis ekonomi yang kuat, partisipasi politik yang sehat dan identitas budaya yang kuat, tapi sekaligus memiliki pelayanan kemanusiaan yang kurang baik, lingkungan fisik yang buruk, harga diri yang rendah dan tingkat pengasingan yang tinggi. Dalam masyarakat yang demikian, pengembangan lingkungan dan personal/spiritual akan menjadi prioritas tertinggi dalam program pengembangan masyarakat.

Dimensi Sosial

Pengembangan sosial seringkali dianggap sama dengan pengembangan masyarakat (community development) dalam pandangan yang sempit (tradisional). Dalam paparan ini, pengembangan sosial merupakan bagian dari konsep pengembangan masyarakat (community development).  Pengembangan sosial dalam prakteknya, meliputi beberapa kategori kegiatan sebagai berikut:

  1. Kegiatan pelayanan sosial (isu-isu yang muncul, misalnya:
    kurangnya fasilitas rekreasi/ olahraga, kurangnya rumah
    penampungan, rumah kumuh, perlunya panti jompo,
    kenakalan remaja, dan lainnya),
  2. Pusat kegiatan masyarakat (yaitu pengembangan sarana,
    kegiatan dan organisasi untuk interaksi sosial, misalnya:
    pendidikan non-formal, latihan, forum politik lokal,
    penelitian, kelompok diskusi, rekreasi/olahraga, dsb.
    terutama untuk kebutuhan anak-anak dan generasi muda),
  3. Kegiatan perencanaan sosial (misalnya: pembentukan
    komite masyarakat yang terlibat dalam penentuan prioritas
    kegiatan/program sosial di lingkungan masyarakatnya),
  4. Kegiatan animasi sosial (kegiatan-kegiatan untuk
    meningkatkan interaksi antar anggota masyarakat
    sehingga mereka memiliki perasaan kolektivitas dan
    kesiapan untuk berpartisipasi membangun
    masyarakatnya).

Dimensi Ekonomi

Pengembangan ekonomi dalam konsep pengembangan masyarakat (community development), merupakan pandangan alternatif terhadap ekonomi global yang didominasi oleh industri besar (kapitalistik). Karena itu, gagasan utamanya adalah pengembangan ekonomi masyarakat yang bermanfaat bagi masyarakatnya sendiri (otonomi ekonomi).

Secara garis besar, pengembangan ekonomi dalam prakteknya, meliputi dua kategori kegiatan sebagai berikut:

  1. Pengembangan ekonomi tradisional (yaitu pengembangan
    ekonomi lokal untuk berpartisipasi dalam pengembangan
    ekonomi yang lebih luas, misalnya: menarik investor dari
    luar, mengembangkan industri lokal, pengembangan
    pariwisata),
  2. Pengembangan ekonomi alternatif (yaitu pengembangan
    ekonomi yang berbasis pada otonomi ekonomi, misalnya:
    mengembangkan koperasi, bank masyarakat, usaha
    simpan pinjam, dan alat tukar lokal.

Dimensi Politik

Dalam banyak literatur, pengembangan politik seringkali  disebut pengorganisasian masyarakat (community organizing).  Dalam paparan ini, pengembangan politik merupakan bagian dari konsep pengembangan masyarakat (community development). Pada pengembangan politik, isu pemberdayaan sangat mengemuka karena itu dalam program-program yang dilaksanakan, penting untuk melakukan analisis sosial (analisis kekuasaan) baik dalam level makro maupun lokal. Tujuan programnya adalah untuk mengembangkan kapasitas masyarakat secara keseluruhan di dalam arena politik yang lebih luas, serta mengembangkan kemampuan individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperanserta dalam politik lokal.

Pengembangan politik lokal dalam prakteknya, meliputi kegiatan sebagai berikut:

  1. Penyadaran masyarakat (terutama untuk penyadaran kritis tentang keterhubungan individu dengan struktur yang lebih
    luas),
  2. Pengorganisasian masyarakat (terutama untuk
    mengembangkan struktur politik lokal yang lebih otonom
    yang menegakkan demokrasi dan kesetaraan antar
    golongan, etnis, gender),
  3. Pengembangan politik yang lebih luas, meliputi kegiatan seperti: Pengorganisasian masyarakat (terutama untuk
    mengembangkan kemampuan dalam melakukan aksi
    sosial dalam arena politik yang lebih luas: regional,
    nasional, bahkan internasional); Aksi sosial (yaitu aksi-aksi untuk mempengaruhi dan berhubungan dengan arena politik yang lebih luas,
    misalnya: menyampaikan aspirasi mengenai kebijakan
    nasional yang akan berpengaruh terhadap lokal).

Dimensi Budaya

Dalam era komunikasi dan informasi yang terbuka dan tanpa batas saat ini, sulit bagi suatu masyarakat untuk tetap  mempertahankan kebudayaan lokalnya yang unik. Dalam  globalisasi budaya itu, seringkali terjadi penggolong-golongan
budaya, misalnya: budaya yang tinggi dan rendah, budaya maju dan terbelakang, budaya tradisional dan modern, dan lainnya, sehingga memunculkan inferioritas pada suatu kelompok budaya tertentu.

Pengembangan kebudayaan adalah bagian yang penting  dalam pengembangan masyarakat (community development),  yaitu untuk menumbuhkan sikap krits terhadap identitas  budaya, menghargai dan bangga pada identitasnya sendiri,
menghargai keberagaman budaya dan dapat hidup  berdampingan dalam perbedaan (keberagaman) tersebut.

Pengembangan budaya dalam prakteknya, meliputi kegiatan sebagai berikut:

  1. Mempertahankan dan menghargai budaya lokal (local
    culture) dengan menghidupkan kembali elemen-elemen
    penting kebudayaan lokal agar timbul perasaan identitas
    kebudayaan dan kebanggaan terhadapnya. Tetapi, harus
    dipertimbangkan agar tidak dimunculkan budaya elitis dan
    budaya yang tidak relevan dengan keseluruhan nilai (visi)
    masyarakat,
  2. Mempertahankan dan menghargai budaya asli (indigenous
    culture) dengan kegiatan yang sama seperti di atas, tetapi
    isu ini dianggap khusus karena masyarakat asli seringkali
    menjadi kelompok yang tersingkir oleh ekspansi budaya
    lain,
  3. Mengembangkan penghargaan terhadap keberagaman
    budaya (multiculturalism) dengan memperkenalkan prinsip-prinsip
    keadilan dan hak-hak asasi manusia sebagai nilainilai
    yang lebih universal dalam menjalankan kehidupan
    masyarakat yang multi-budaya,
  4. Mengembangkan budaya partisipatif (participatory culture)
    sebagai alternatif dari budaya tradisi (terutama bertujuan untuk
    mendorong masyarakat luas untuk berpartisipasi dan
    menghidupkan kegiatan-kegiatan kebudayaan daripada hanya
    sekedar sebagai penonton)

Dimensi Lingkungan

Pengembangan lingkungan adalah upaya untuk memperbaiki  lingkungan secara menyeluruh (bukan berdasarkan isu-isu  spesifik, seperti: isu polusi, isu sampah/limbah, isu kesehatan  lingkungan, dsb.). Karena itu, pengembangan lingkungan memerlukan penyadaran masyarakat tentang pentingnya memahami hubungan lingkungan (dalam arti luas) dengan kehidupan masyarakat/manusia, baik dalam perspektif lokal, maupun global.

Kegiatan-kegiatan pengembangan lingkungan adiantaranya: penyadaran,  pendidikan, pengorganisasian masyarakat, perencanaan, dan lainnya, yang berkaitan dengan upaya mengembangkan pembangunan (sosial-ekonomi) yang ramah lingkungan dan menggunakan prinsip keberlanjutan.

Dimensi Pengembangan Individu/Spritual

Pengembangan individu dalam konsep pengembangan masyarakat, lebih banyak dianggap sebagai bagian dari masalah karena menumbuhkan individualisme dan persaingan bebas, serta mempopulerkan idiom: “Saya bisa lakukan apa saja yang saya mau”. Hal ini berarti mengindahkan realitas struktur masyararakat, adanya keterbatasan lingkungan, adanya perbedaan antar individu, serta mendorong sikap yang eksploitatif dan menyalahkan orang yang tidak mampu berkompetisi.

Justru karena itu, pengembangan individu dalam pengembangan masyarakat menjadi penting, yaitu untuk memenuhi kebutuhan individu melalui jaringan dan interaksi dalam masyarakatnya, ketimbang melalui profesionalisme dan
kesuksesan pribadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *