Metode Penelitian-Kerangka Pemikiran

Beberapa literatur sering menyamakan terminologi kerangka pemikiran dengan kerangka konseptual. Apakah hakikat dari kerangka pemikiran? Dalam kerangka pemikiran hal mendasar yang perlu dikemukakan adalah hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya, terutama variabel yang diteliti dan kerangka pemikiran merupakan manifestasi pemikiran peneliti dalam konteks penelitian-penelitian lain yang relevan.

Dua sumber utama dalam menyusun kerangka pemikiran adalah tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan. Dari tinjauan teoritis, peneliti mengekstraksi teori yang mendasari penelitian, termasuk variabel-variabel yang dibutuhkan untuk menjelaskan masalah penelitian dan dari penelitian terdahulu yang relevan, peneliti mendapatkan pemahaman hasil-hasil penelitian berikut metodenya. Dari dua sumber ini, peneliti meramu kembali penelitan yang akan dilakukan peneliti dalam sub-bab yang disebut kerangka pemikiran.

Hasil akhir dari tuangan kerangka pemikiran peneliti adalah hipotesis penelitian. Hipotesisi didefinisikan sebagai jawaban sementara dari masalah penelitian. Jawaban ini berasal dari kerangka pemikiran peneliti, dimana kerangka pemikiran ini berasal dari ekstraksi tinjauan teoritis dan ektraksi hasil penelitian terdahulu yang relevan. Artinya, hipotesis penelitian bukanlah datang dengan tiba-tiba atau sekonyong-konyong muncul, melainkan melalui proses yang sistematis.

Berikut contoh kerangka pemikiran dari penelitian mahasiswa yang berjudul: “Distribusi Penguasaan Lahan Pangan di Kabupaten Muaro Jambi”.   

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (4) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher.

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sehingga memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan agroindustri.

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani.

Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian.

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal.

Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005).

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) sebagai berikut:

1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran.

2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.

3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.

4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen, sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.

5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran.

6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor industri. Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi.

Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor.

Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal sebagai berikut:

1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor.

2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.

3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Dari tiga hal diatas, menunjukkan bahwa sektor pertanian telah kembali menjadi pusat perhatian bagi perekonomian nasional. Hal ini mengingat bahwa ketika tejadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 2007 sektor pertanian telah menjadi penyelamat bagi perekonomian nasional. Hal ini juga menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah tiangnya ekonomi Indonesia.

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan dengan hal ini, Sudaryanto dan Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani.

Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya.

Dalam pembangunan pertanian peran lahan sangat penting, bukan hanya sebagai faktor produksi dan ekonomi, tetapi sebagai fungsi sosial budaya dan religious. Di dalam kebijakan yang mementingkan pembangunan ekonomi, maka fungsi lahan telah berubah menjadi komoditas. Kurang terkontrolnya alih fungsi lahan pertanian di luar pertanian menyebabkan lahan pertanian yang subur dan produktif semakin terbatas. Beberapa bentuk peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusaaan lahan telah diatur dalam bentuk Undang-Undang Pokok Agraria yang bermakna untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pemerataan pendapatan. Akan tetapi dalam pelaksanaan timbul berbagai permasalahan karena konflik ketimpangan, dan kurang konsistennya kebijaksanaan penggunaan lahan untuk usaha pertanian dan non pertanian.

Pembangunan pertanian yang dikembangkan tidak terlepas oleh ketersediaan sumber daya alam pertanian, disamping dibutuhkan sumberdaya modal dan sumberdaya manusia, serta dukungan kebijakan mulai dari perencanaan hingga implementasinya. Ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dikelola secara tepat akan merupakan strategi yang sangat kuat di dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan sumberdaya alam terutama lahan ikut berperan dalam pembangunan pertanian. Hal ini cukup beralasan, karena sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian tinggal di pedesaan dan bergantung pada ketersediaan lahan sebagai sumber mata pencaharian.

2.2 Sumberdaya Lahan

Lahan (land) merupakan wahana atau ekosistem yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik sebagai tempat tinggal dan kegiatannya, untuk mendukung vegetasi alam dan hewan serta untuk mendukung berbagai bahan tambang yang kesemuanya diperlukan oleh manusia (Sandy, 1977; Soerianegara, 1977; Arsyad dan Nasoetion, 1984).

Dalam lingkup pengertian di atas, lahan mempunyai karakteristik yang unik yang membedakannya dengan sumberdaya yang lain, yaitu:

1. Selalu diperlukan untuk kehidupan manusia sehari-hari tanpa ada barang substitusinya, sehingga lahan yang kualitasnya rendah pada suatu saat akan diperlukan.

2. Penggunaannya setempat (in situ), sehingga nilai lahan tersebut ditentukan oleh unsur-unsur yang terdapat dan menjadi bagian dari lahan tersebut. Unsur-unsur ini meliputi iklim, relief dan formasi gelogi, kesuburan tanah, air (permukaan dan dalam tanah), flora dan fauna serta unsur-unur buatan manusia (kalau ada) seperti jalan, rumah, kandang, jaringan irigasi dan sebagainya.

3. Penilaian manusia tidak tetap, tetapi tergantung kondisi teknologi, ekonomi dan sosial yang dikuasainya. Penilaian ini tergantung kebutuhan sedangkan kebutuhan sendiri ditentukan oleh waktu, ruang dan tempat tertentu.

4. Penyediaan sumberdaya laha oleh lingkungan alam relatif tetap, sedangkan keperluan oleh manusia selalu meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah manusia dan budayanya.

Implikasi dari karakteristik sumberdaya lahan tersebut berarti kegunaan lahan bagi kehidupan manusia tergantung sekali dari usaha masyarakat, perkembangan teknologi dan kebijaksanaan pemrintah. Misalnya lahan yang mula-mula mengandung penuh rintangan dan kesukaran, berkat kegiatan masyarakat akhirnya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Sebaliknya dapat terjadi, lahan tersebut khilangan manfaatnya karena tidak digunakan dengan cara yang benar dan dalam waktu yang tepat seperti terjadinya lahan rusak.

Implikasi yang kedua adalah adanya sudut pandang yang berbeda terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan baik di tingkat individu, masyarakat maupun pemerintah. Bagi individu pertimbangan utama di dalam memutuskan pemanfaatan sumberdaya lahan tersebut adalah pemanfaatn yang dapat memberikan tingkat keuntungan yang tertinggi atau usaha yang paling efisien. Suatu usaha dikatakan lebih efisien apabila menghasilkan output yang lebih tinggi nilainya untuk per kesatuan input digunakan. Dengan usaha yang efisien maka individu tersebut dapat memperoleh tambahan atau peningkatan yang dapat digunakan untuk meluaskan usahanya.

Bagi masyarakat, pertimbangan itu dilandasi oleh tata nilai yang berlaku setempat yang mengatur perilaku anggota agar tidak terjadi konflik akibat pemanfaatan lahan di lingkungan wilayahnya.

Bagi pemerintah, pertimbangan itu dilandasi falsafah dasar yang dianutnya. Seperti halnya di Indonesia, tujuan utama pemanfaatan sumberdaya lahan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seluruhnya (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan 1 ayat 2 UUPA). Atas dasar tujuan tersebut setiap pemanfaatan sumberdaya lahan perlu memperhatikan asas-asas kelestarian, optimalisasi usaha serta kelestarian berbagai penggunaannya.

Lahan ini merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dipulihkan. Arah dari pengelolaannya adalah sejauh mungkin mencegah dan mengurangi pencemaran lingkungan hidup dan dapat menjamin kelestarian sumberdaya untuk kepentingan generasi yang akan datang.

Jadi pada hakekatnya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola sumberdaya lahan, yaitu:

(1) Bagaimana memperoleh hasil produksi yang setinggi-tingginya secara berkesinambungan.

(2) Bagaimana manfaat tersebut harus lebih besar nilainya dibandingkan dengan resiko yang terjadi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

(3) Bagaimana pemanfaatan tersebut tidak menimbulkan konflik kepentingan baik di tingkat individu, masyarakat maupun pemerintah (sektoral).

Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan maupun kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara itu lahan tidak berkembang, sehingga tekanan penduduk terhadap lahan semakin berat.

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya (Mather, 1986).

Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita (Rustiadi, 2001).

2.3 Distribusi Penguasaan Lahan Pertanian

Ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian merupakan salah satu isu pembangunan pertanian yang sering diungkapkan. Darwis (2008) mengatakan pada umumnya ketimpangan penguasaan lahan tersebut dapat disebabkan oleh tiga faktor yang saling terkait yaitu :

(1) Pertama, adanya sistem waris pecah-bagi dimana lahan yang diwariskan dipecah dan dibagikan kepada pihak-pihak yang memiliki hak waris. Dengan sistem waris tersebut maka lahan yang dimiliki petani dari satu generasi ke generasi berikutnya akan semakin sempit, dengan kata lain terjadi marjinalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit. Hingga batas luasan lahan tertentu petani berlahan sempit tersebut cenderung menjual lahannya karena pendapatan yang diperoleh dari lahan yang dimiliki tidak mencukupi kebutuhan rumahtangga mereka. Proses penyempitan lahan yang dimiliki petani tersebut akan berlangsung terus menerus sehingga di daerah pedesaan akan semakin banyak petani yang tidak memiliki lahan.

(2) Kedua, adanya polarisasi atau penumpukan pemilikan lahan pada sekelompok petani kaya. Pada umumnya petani kaya cukup efisien dalam mengelola aset yang dimiliki sehingga mereka selalu memperoleh surplus dari kegiatan usahanya. Surplus usaha tersebut biasanya diinvestasikan dengan membeli lahan terutama dari petani berlahan sempit. Konsekuensinya adalah lahan yang dimiliki para petani kaya akan semakin luas (terjadi polarisasi lahan) sedangkan lahan yang dimiliki petani miskin atau petani berlahan sempit akan semakin sempit (terjadi proses marjinalisasi lahan) sehingga perbedaan pemilikan lahan antara petani kaya dan petani miskin akan semakin besar, dengan kata lain distribusi pemilikan lahan semakin tidak merata atau semakin timpang.

(3) Ketiga, adanya pemilikan lahan guntai oleh penduduk kota atau penduduk luar desa. Lahan yang dimiliki penduduk kota tersebut umumnya dibeli dari petani berlahan sempit. Konsekuensinya adalah semakin banyak petani yang tidak memiliki lahan atau lahannya semakin sempit karena sebagian lahannya dijual kepada penduduk kota.

Di kalangan masyarakat agraris, ternyata tanah bukan hanya sebagai sumber penghasilan (mean of production) saja, tetapi sebagai sumber kehidupan dalam arti kata yang sangat luas, antara lain sebagai tempat bermain, tempat tinggal (mendirikan rumah di atas tanah), melahirkan, mengembangkan keturunan dan meninggal, tampak dengan jelas dalam tradisi masyarakat agraris sangat berkaitan erat dengan tanah. Oleh karena itu, tanah bagi masyarakat agraris merupakan benda yang memiliki nilai tinggi dalam perjalanan hidup mereka. Hal ini tercermin dalam kehidupan mereka, di mana berbagai kepentingan yang berkaitan dengan tanah selalu disertai berbagai upacara yang bersifat sakral. Selain itu penilaian tinggi terhadap tanah telah melahirkan berbagai hak dan kewajiban yang amat kompleks dalam bentuk penguasaan, pemilikan, dan penguasaan tanah dari berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.

Sekarang, peningkatan penduduk yang begitu cepat, menambah beban tekanan penduduk terhadap penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah semakin besar. Keadaan ini tentu akan menimbulkan ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan lingkungan alamnya. Oleh karena itu, di samping sebagai sumber utama kehidupan masyarakat agraris, sekarang tanah merupakan pula sumber ketegangan sosial yang dapat mengarah ke konflik terbuka.

Selain itu, berbagai peraturan yang merupakan produk dalam perjalanan sejarah bangsa telah mewarnai pula pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah di Indonesia. Dalam praktek kehidupan sehari-hari berbagai peraturan itu sering tidak sejalan., bahkan di beberapa daerah sering bertentangan dengan hukum adat yang berlaku. Akibatnya, masalah tanah menjadi bertambah ruwet.

Kemudian lebih jauh dikatakan lagi oleh Hernanto (1989) bahwa pada dasarnya lahan mempunyai beberapa sifat antara lain : (1) luas relatif tetap, (2) tidak dapat dipindah-pindakan, (3) dapat diperjualbelikan. Dengan hal ini pada bagian lain lahan juga berfungsi sebagai modal usahatani bagi petani.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lahan untuk berusahatani terus akan menyempit, hal ini dikarenakan adanya tuntutan perkembangan zaman dan perkembangan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dengan diiringi pula kebutuhan papan yang meningkat. Sehingga lahan usahatani terus dialihfungsikan yaitu diantaranya untuk lokasi perumahan, perkantoran, industri dan lain-lain.

Penguasaan aset yang paling signifikan mencerminkan tingkat ekonomi petani adalah luas pemilikan dan penguasaan lahan. Dilihat dari aspek segi hukum, hak memiliki dan menguasai itu pada umumnya dapat melekat pada dua jenis subyek hukum, yaitu masyarakat/penguasa dan perseorangan. Pengertian penguasaan adalah memberikan kewenangan seperti pemilikan, namun penguasaan dan pemilikan lahan terdapat perbedaan tergantung pada subyeknya. Seperti cara penguasaan oleh pihak pengembang dan para spekulan terletak pada kepemilikan modal kuat, sehingga ribuan hektar lahan menjadi terlantar yang akhirnya menjadi lahan tidur yang sebenarnya dapat dibudidayakan untuk pembangunan pertanian.

Kepemilikan lahan pertanian merupakan faktor yang sangat menentukan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani. Luas lahan yang diusahakan oleh rumah tangga petani berkaitan erat dengan skala usaha dan pendapatan yang diterima rumah tangga. Skala usaha yang terlalu kecil akan berakibat pada rendahnya insentif dan tidak insentifnya rumah tangga petani dalam mengusahakan lahan. Peningkatan penggunaan faktor produksi selain lahan belum dapat meningkatkan nilai produksi lebih besar dibanding nilai produksi yang berasal dari penigkatan lahan.

Rata-rata penguasaan lahan pertanian yang sempit selalu menjadi hambatan untuk mencapai pertanian modern yang efisien dan berdaya saing. Dengan demikian untuk jangka panjang konsolidasi usaha untuk mencapai skala usaha-usaha yang optimal perlu diupayakan. Di samping itu, upaya untuk membatasi fragmentasi lahan pertanian seyogyanya mendapat prioritas. Sementara itu, berbagai program yang diaplikasikan hendaknya diarahkan pada aksi yang mengacu pada keberpihakan pemerintah pada petani berlahan sempit.

2.4 Status Sosial

Status sering dirujuk pada kondisi ekonomi dan sosial seseorang dalam kaitannya dengan jabatan (kekuasaan), dan peranan yang dimiliki orang yang bersangkutan di dalam masyarakat di mana ia menjadi anggota atau partisipan. Dengan demikian, status cenderung memperlihatkan tingkat kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan status orang lain berdasarkan suatu ukuran tertentu. Ukuran atau tolak ukur yang dipakai didasarkan pada salah satu atau kombinasi yang mencakup tingkat pendapatan, pendidikan, prestise atau kekuasaan.

Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya. Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah.

Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut :

1) Ukuran kekayaan, barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya : rumah, kerbau, sawah, dan tanah.

2) Ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas. Contoh: Pak Kades, Pak Carik, Tokoh masyarakat (Tomas).

3) Ukuran kehormatan, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

4) Ukuran pengetahuan, pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Barang siapa yang berilmu maka dianggap sebagai orang pintar.

Tanah mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Tetapi ia juga mempunyai nilai-nilai sosial yang tidak dapat diabaikan. Tanah merupakan simbol status sesorang atau keluarga. Kekayaan seseorang, terutama di desa sering diukur dengan luasan tanah yang dimilikinya. Makin luas tanah yang menjadi miliknya, makin tinggi pula statusnya di mata orang lain. Karena memiliki tanah, seseorang itu sering mudah untuk memperluas tanah miliknya dengan membeli tanah orang lain di sekitarnya. Ia menjadi tuan tanah. Tanah tersebut disewakan kepada orang, atau dibiarkan terbengkalai untuk kemudian dijual ataupun disewakan kepada orang yang butuh.

2.5 Gini Indeks Penguasaan Lahan Pertanian

Tingkat ketimpangan penguasaan lahan pertanian dapat diukur dari suatu parameter yang biasa disebut gini indeks. Jika penguasaan lahan menyebar rata secara sempurna, maka angka gini indeks akan mendekati nol. Jika indeks gini mendekati satu, maka sebaran penguasaan lahan sangat timpang. Artinya, sebagian besar lahan yang ada dikuasai oleh beberapa orang tertentu (tuan tanah).

Sampai saat ini belum ada standar baku yang dijadikan pedoman umum secara luas tentang kriteria ketimpangan dengan menggunakan gini indeks. Sumaryanto, dkk. (1997), menggunakan kriteria yang dikembangkan oleh Oshima (1976), yaitu:

(i) jika gini indeks (G < 0.4), maka ketimpangan termasuk katagori rendah;

(ii) jika (0,4>G>0,5), maka ketimpangan tergolong sedang; dan

(iii) jika (G > 0,5), maka ketimpangan sudah tergolong tinggi.

Rumus Gini Indeks adalah sebagai berikut.

G = clip_image002. (Xi+1 –Xi ) (Yi + Yi+1 )

Dimana:

G = Gini indeks

Xi = Proporsi jumlah petani kumulatif dalam kelas ke i

Yi = Proporsi jumlah luas lahan petani kumulatif dalam kelas ke i

2.6 Hasil Penelitian Sebelumnya

Adapun hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan distribusi penguasaan lahan pertanian adalah : Penelitian Dewa K.S. et al (2000) mengenai Struktur Penguasaan Lahan Dan Pendapatan Rumah Tangga Tani di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan Kalimantan Tengah menyimpulkan bahwa ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan di daerah pasang surut tergolong sedang. Hal ini ditunjukkan oleh gini indeks masing-masing di daerah tersebut sebesar 0,42 dan 0,49. Ketimpangan dalam pemilikan lahan lebih kecil dari penggarapan. Hal ini disebabkan karena kemampuan petani menggarap lahan lebih beragam dari pada pemilikan.

Penelitian Anonim, 2005 dengan judul Laporan Akhir Studi Sosial Ekonomi Dan Pemanfaatan Ruang Desa Penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas yang menyimpulkan bahwa aspek pendistribusian lahan dalam kaitannya dengan pemanfaatan ruang oleh warga di Desa Tuo Ilir dan Desa Tambun Arang secara umum terbagi ke dalam dua pola yaitu pola pendistribusian lahan untuk unit tempat tinggal (pemukiman) dan unit budidaya (aktivitas berproduksi) dan di kedua desa studi tersebut terjadi diferensiasi agraria dalam kepemilikan lahan.

2.7 Kerangka Pemikiran

Dalam pembangunan pertanian peran lahan sangat penting, bukan hanya sebagai faktor produksi dan ekonomi, tetapi sebagai fungsi sosial budaya dan religious. Di dalam kebijakan yang mementingkan pembangunan ekonomi, maka fungsi lahan telah berubah menjadi komoditas. Kurang terkontrolnya alih fungsi lahan pertanian di luar pertanian menyebabkan lahan pertanian yang subur dan produktif semakin terbatas. Beberapa bentuk peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusaaan lahan telah diatur dalam bentuk Undang-Undang Pokok Agraria yang bermakna untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pemerataan pendapatan. Akan tetapi dalam pelaksanaan timbul berbagai permasalahan karena konflik ketimpangan, dan kurang konsistennya kebijaksanaan penggunaan lahan untuk usaha pertanian dan non pertanian.

Pembangunan pertanian yang dikembangkan tidak terlepas oleh ketersediaan sumber daya alam pertanian, disamping dibutuhkan sumberdaya modal dan sumberdaya manusia, serta dukungan kebijakan mulai dari perencanaan hingga implementasinya. Ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dikelola secara tepat akan merupakan strategi yang sangat kuat di dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan sumberdaya alam terutama lahan ikut berperan dalam pembangunan pertanian. Hal ini cukup beralasan, karena sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian tinggal di pedesaan dan bergantung pada ketersediaan lahan sebagai sumber mata pencaharian.

Penguasaan lahan merupakan faktor yang sangat strategis dalam pembangunan daerah, terutama bagi daerah yang basis ekonominya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam. Salah satu persoalan pokok dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani sehingga program yang dikembangkan Departemen Pertanian belum sepenuhnya dapat berjalan seperti yang direncanakan. Lahan merupakan salah satu faktor produksi terpenting di dalam usahatani, pada negara sedang berkembang seperti Indonesia segala bentuk hasil pertanian umumnya berasal dari pengelolaan lahan. Sifat lahan luasnya relatif tetap, tetapi lahan untuk berusaha tani cenderung menyempit karena adanya desakan pertumbuhan penduduk dan pekembangan zaman sehingga pada gilirannya lahan usahatani banyak yang dialihfungsikan. Sedangkan pembukaan areal usahatani yang baru melalui penebangan hutan sudah dibatasi dan pemanfaatannya sesuai dengan kebutuhan.

Pada dasarnya lahan merupakan aset produktif suatu daerah yang harus dimanfaatkan secara efisien dan efektif. Pemanfaatan lahan secara efektif dan efisien akan dapat meningkatkan pendapatan daerah terutama petani pengelola, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara skematis kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dijelaskan dengan gambar:

clip_image001

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

2.8 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penulis memberikan hipotesis sebagai berikut : Diduga bahwa terjadi ketimpangan distribusi penguasaan lahan tanaman pangan dan perkebunan di Kabupaten Muaro Jambi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *